Saturday, October 8, 2011

Eks Meisjesschool, si Antik dari Matani

 SD GMIM III Matani 2006 dan 1935

MAU tahu bangunan sekolah tertua di kota pelajar Tomohon? Jawabannya adalah bangunan yang kini ditempati SD GMIM III di Kaaten Kelurahan Matani Satu Kecamatan Tomohon Tengah. Bangunan yang berada di pinggiran jalan raya Tomohon-Tondano ini telah berdiri sejak Meisjesschool diresmikan tanggal 1 November 1881. Maka pada bulan November 2011, usianya telah genap 130 tahun.

Arsitektur bangunan berukuran 36 kali 18 meter ini memang cukup antik. Kendati dindingnya banyak mulai retak, tapi terlihat tangan arsitek tempo dulu begitu trampil dan piawai. Rahasianya ternyata, adalah lapisan dalam betonnya sengaja dipasangi rangka dari pohon nibung. Sayang, sisa-sisa sengnya yang berukuran lebar, panjang dan berat tak ada lagi, telah dibongkar belum lama ini ketika bangunannya direnovasi. Sisa lain yang masih dipertahankan seperti ketika pertamakali dibuka adalah papan nama sekolah bertuliskan Prot. Meisjesschool Tomohon yang terpasang menghadap ke timur, masih asli. Ini memang untuk pengingat bahwa dulunya sekolahnya bernama Meisjesschool, atau Sekolah Nona yang pernah terkenal harum, tidak hanya di Minahasa, tapi tersohor hingga Sulawesi Utara dan Tengah, bahkan di Indonesia bagian timur sebagai sekolah elit khusus perempuan.

Memang, awalnya sekolah ini hanya dikhususkan untuk para nona, putri para kepala distrik Minahasa, anak raja-raja serta putri bangsawan lain. Karenanya, sekolah tersebut lebih dikenal dengan sebutan Sekolah Nona, sebagai sekolah dasar enam tahun berbahasa Belanda. Sebutan awalnya adalah de Kost en dagschool voor dochters van Hoofdenen aanzienlijken in de Minahasa, atau sekolah siang dengan asrama bagi putri dari kepala dan yang terkemuka di Minahasa.

Pendirian Meisjesschool sebagai imbangan bagi Sekolah Raja (Hoofdenschool) untuk putra para kepala dan bangsawan yang dibuka pemerintah Belanda tahun 1868 di Tondano. Murid awalnya 17 orang yang masuk asrama dan 10 orang tidak (tahun 1883 terdapat 23 murid dalam asrama serta tahun 1895 40 orang pelajar).

Kuburan Gijsberta C. Krook di Talete - Tomohon

Nona Gijsberta Catharine Krook asal Amsterdam menjadi direktur Meisjesschool pertama di tahun 1881. Namun, ia meninggal dunia tanggal 16 Maret 1886 dalam usia 36 tahun, karena terjadinya wabah kolera di Tomohon, dan dikuburkan di Talete Satu. Penggantinya adalah Nona W.C. de Ligt dengan dibantu murid tertua dan paling maju serta terpintar Nona Wilhelmina Warokka asal Kawangkoan, sehingga Mien panggilannya, dikenal sebagai guru wanita Minahasa pertama.

Kemudian direkturnya berturut-turut Nona E.Kramer (1886-1889), Nona C.S. van Assendelft (1890-1891), pejabat Nona H.E.Korndorffer (1891-1894) dan A.Limburg (1894-1909) dengan wakil istrinya. Sekolah elit yang dilengkapi dengan asrama ini bertahan sampai tahun 1937 ketika kemudian digabungkan dengan Christelyk HIS Jongenschool Protestan di Talete-Paslaten menjadi Louwerierschool, seturut nama tokoh pendidikan terkenal Tomohon Ds. Jan Louwerier yang menjadi pendiri Meisjesschool dan banyak sekolah bermutu lainnya di Tomohon.

Sejak penggabungan tersebut pelajar wanita dan pria digabung satu di Kaaten, kendati pelajarnya masih spesial, putra-putri orang terkemuka Louwerierschool dipimpin direktur Elvianus Katoppo dan makin terkenal di Indonesia. Suratkabar saat itu menyebutnya : ‘’Louwerierschool, de school met ‘n naam’’ (Louwerierschool satu-satunya sekolah yang sudah mempunyai nama). Sekolahnya benar-benar berdisiplin tinggi. Setiap hari seluruh kegiatan murid dari pukul 05.00 pagi hingga 22.00 malam diawasi satu tim guru, mulai dari mandi pagi sampai kegiatan belajar.

Elvianus Katoppo kemudian hari menjadi tokoh nasional, dan pernah sebagai Menteri Pendidikan dan Pengajaran NIT. Banyak tokoh terkenal Minahasa dihasilkan sekolah ini. Salah satunya adalah Henk Ngantung yang pernah menjabat Gubernur DKI Jakarta periode 1964-1965 dan dikenal pula sebagai pelukis besar.

Sekolah yang kini tinggal menyisakan 8 lokal ditambah gudang itu, pada masa Jepang digunakan sebagai tempat menawan wanita, para suster, anak-anak orang Belanda dan warga Eropa lainnya. Pasang-surut dimulai ketika kemerdekaan. Kendati masih dinamai Sekolah Louwerier—dan kemudian Christeyk Lagerschool (LS) 1 Tomohon lalu Sekolah Rakyat GMIM III tahun 1956 sampai SD GMIM III tahun 1966 hingga kini - namun siswanya mulai menurun dan tidak membeda-bedakan status dan derajat lagi.

Ruang-ruang kelas dan halaman sekolahnya mulai dimanfaatkan GMIM untuk sekolah lain. Antaranya lapangan olahraga dipakai SMP Kristen dan asrama dijadikan Sekolah Teknik, kemudian ditambah STM. Sampai kini perhatian pemerintah serta badan pengelola untuk melestarikan bangunan antik ini masih kurang, sehingga terancam ambruk sewaktu-waktu. Padahal, selain nilai tua dan bersejarah, di situ pun masih tersisa bekas-bekas peta Permesta, berupa garis-garis strategi perang. Pasalnya, ketika pergolakan daerah Permesta di tahun 1958, gedung sekolahnya sempat dijadikan sebagai markas Resimen Tim Pertempuran Ular Hitam pimpinan Letkol Daniel Somba. (Adrianus.K)

No comments:

Post a Comment